Facebook Pixel

Blog

Tantangan Pembelajaran Global Dalam Pendidikan Umum

blog-11
Video & Tips

Tantangan Pembelajaran Global Dalam Pendidikan Umum

Untuk Anda yang membaca ulasan ini secara cepat, mungkin ada 18 orang yang membacanya sepintas lalu, namun mungkin ada yang mencoba membaca sampai selesai.

Bahkan ketika sebuah judul menarik perhatian, ada saja yang langsung komentar dan menyulut emosi — dibahas dengan nada antusias (kita harus melakukannya — para pelajar pantas mendapatkannya!) dan stereotip abu-abu (kami melakukan Zoom meeting di ruang kelas Peru minggu lalu — jika saja hal ini bukan kelas global, saya tidak tahu apa yang saya hadapi).

Dalam sebuah ujian yang sulit, umum diujikan di banyak lembaga pendidikan formal, fokusnya ada pada standar materi dan penguasaan materi. Ide ‘Globalisasi’ itu layaknya ‘kue di langit’ yang begitu angkuh dan hanya terpikir saat menonton salah satu video dengan judul “Sebuah Pergeseran Terjadi” di YouTube. Atau saat sedang melamun dalam perjalanan pulang dari sekolah yang melelahkan, di mana momen itu adalah waktu yang paling tepat untuk jujur pada diri sendiri. Merenung dalam kesendirian—jenis pendidikan apa yang bisa diimpikan oleh para guru yang sekiranya dapat diberikan untuk siswa-siswi mereka.

Sekarang lebih dari satu dekade memasuki abad ke-21, ada semacam tekanan luar biasa bagi lembaga pendidikan untuk ‘mengglobal’. Jadi apa arti sebenarnya (istilah globalisasi) dan apa saja yang tidak disepakati secara universal ?

Apakah Globalisasi Berperan Dalam Pembelajaran?

Bagi sebuah edukasi, globalisasi adalah bentuk konsekuensi makro yang alami dari sebuah penempatan mikro yang sarat makna.

Mengglobalkan kurikulum (pada awalnya) tidak serta merta seperti yang terlihat sekarang ini. Untuk mengglobalkan sebuah kurikulum, mulailah dari yang kecil—yaitu dari diri sendiri.

Sekarang lebih dari satu dekade memasuki abad ke-21, ada semacam tekanan luar biasa bagi lembaga pendidikan untuk ‘mengglobal’. Jadi apa arti sebenarnya (istilah globalisasi) dan apa saja yang tidak disepakati secara universal ? Di pasar utama internasional, dunia bisnis sudah mengglobal dari beberapa dekade belakangan ini, berkembang melampaui pasar domestik untuk mengejar audiens/pelanggan/pembeli yang lebih beragam dan keuntungan yang berlipat.

Sementara itu, pemain utama dalam bisnis terus bereksperimen dan menemukan berbagai cara untuk penetrasi pasar yang budayanya dan praktik transaksi jual-belinya berbeda dari domestik. Di sisi lain ‘bidang’ pendidikan terlambat mengikutinya.

Hubungan antara pendidikan dan sistem ekonomi lambat laun semakin aneh. BIla memang salah satu tujuan pendidikan adalah untuk menyiapkan ‘tenaga kerja’, semakin paralel sistem pendidikan dengan angkatan kerja, semakin sedikit ‘limbah’ yang mungkin ada. Sementara industrialisme, komersialisme, agama, dan teknologi semuanya menjangkau melintasi batas politik dan geografis, ironisnya pendidikan tertinggal jauh di belakang.

Realita yang paling mengejutkan di sini adalah adanya sesuatu yang menggelegar namun saling bersinggungan: Mereka yang berkepentingan (stakeholder) dalam lingkup pendidikan, di mana-mana mereka berjuang untuk adanya perubahan—gerakan atau aksi yang bermakna dan berkelanjutan ke arah yang baru—namun dalam pendidikan secara keseluruhan, hanya ada sedikit kemajuan dibandingkan dengan bidang-bidang lain yang bersinggungan, termasuk sains, teknologi, hiburan, dan bisnis.

Dalam pendidikan ada suatu ikatan yang kemungkinan besar berakar pada sentimentalitas dan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dihubungkan. Proses pembelajaran dan budaya menjadi dua hal yang terpisah. Dalam sebuah komunitas sosial, sebuah keluarga kini tidak begitu yakin akan kualitas pendidikan yang ada saat ini. Semacam kepercayaan buta terhadap sistem pendidikan. Di samping itu sistem pendidikan sendiri berjuang untuk merencanakan, mengukur, dan memulihkan sistem pembelajaran. Ironisnya di sisi lain sebuah keluarga seakan menyingkir dari situ, karena tidak begitu yakin akan peran mereka.

Mengartikan Pembelajaran Global

Globalisasi bukanlah inisiatif tunggal melainkan dampak dari ribuan inisiatif. Banyak di antaranya (inisiatif-inisiatif tersebut) kurang berkembang. Saat mendefinisikan ‘kurikulum global’, satu masalah yang harus dihadapi adalah masalah sudut pandang: Apakah kita semua memiliki definisi ‘global’ yang sama dan apakah kita memahami kata “kurikulum” pada landasan yang sama?

Singkatnya, mari kita sepakati bahwa dalam konteks ini, ‘global’ adalah kata yang menggambarkan segala sesuatu yang benar-benar mendunia secara sadar, saling terhubung dalam penerapannya. Begitu juga dengan skala usaha yang memberikan efek domino yaitu mengintimidasi, merugikan salah satu pihak, dan tidak mungkin benar-benar terlaksana. Di samping erat kaitannya dengan geologis dan kondisi yang situasional, hanya sedikit hal-hal yang dapat benar-benar menjaga keutuhan makna ‘global’ itu sendiri. Kata global mengisyaratkan skala yang tidak hanya ambisius dan komprehensif, tetapi benar-benar inklusif menurut definisinya. Tidak bisa menjadi ‘sebagian global’ seperti halnya lampu yang dapat dinyalakan sebagian.

Jika ‘global’ sepenuhnya itu adalah saling bergantung dan inklusif, bagaimana dengan bagian kurikulumnya? Terkait hal itu, kami mengatakan bahwa kurikulum sebenarnya dirancang untuk mempelajari konten tertentu dan mendapatkan sebuah pengalaman. Hal ini setidaknya terencana dan tertulis. Sedikit mundur dari proses pembelajaran, kurikulum menjadi unit, materi pelajaran, dan aktivitas, atau secara gamblang membuat ‘jalur pembelajaran.’ Karena bagaimanapun masing-masing memiliki gaya kurikulum yang berbeda (di masing-masing negara). Lebih jelasnya, standar pembelajaran seperti Common Core bukanlah kurikulum, melainkan bahan ajar / materi pelajaran yang bisa Anda buat sendiri.

Jadi apa yang dibutuhkan dan disiratkan oleh ‘kurikulum global’? Dan bagaimana kita bisa sampai ke sana ?

Istilah ‘global’ cenderung berkonotasi pada sektor bisnis, pemasaran, dan teknologi yang selalu berisiko. Ambisi para pemimpin bisnis, penemu teknologi, dan ilmuwan sama-sama menunjukkan rasa kurang hormat terhadap pendidikan. Meskipun menarik secara teori, hal itu justru menunjukkan suatu keangkuhan yang seharusnya menjadi perhatian bagi bidang-bidang yang memiliki lebih banyak kerugian daripada sekedar uang atau berbagi deviden.

Leave your thought here

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Select the fields to be shown. Others will be hidden. Drag and drop to rearrange the order.
  • Image
  • SKU
  • Rating
  • Price
  • Stock
  • Availability
  • Add to cart
  • Description
  • Content
  • Weight
  • Dimensions
  • Additional information
  • Attributes
  • Custom attributes
  • Custom fields
Click outside to hide the comparison bar
Compare